Rabu, 30 Desember 2009

SEORANG PETUALANG KATANYA

Seorang petualang katanya orang yang kuat
Berjalan berkilo-kilo meter seolah tanpa lelah
Mendaki puncak-puncak gunung dengan ransel di punggung
Menyeberangi sungai-sungai dengan tangan dan kakinya

Seorang petualang katanya orang yang berani
Melintasi hutan belantara diantara kegelapan malam
Menerjang badai yang datang tiba-tiba
Dihadapinya hewan liar dan buas bila berjumpa

Seorang petualang katanya orang yang tak kenal putus asa
Kan di gapainya puncak gunung walau ada aral di hadapan
Kan di seberanginya sungai bila menghadang
Kan di carinya jalan lain bila jurang dihadapan

Seorang petualang katanya tidak mungkin menangis
Karena sang petualang adalah orang yang tampak tegar
Karena sang petualang adalah orang yang tampak gagah
Karena sang petualang adalah orang yang tidak mungkin mengeluarkan air mata

Seorang petualang katanya orang yang ber-empati
Mudah tersentuh dengan kemiskinan yang dilihatnya
Kan resah hatinya dengan ketidakadilan yang ditemuinya
Dirinya ingin membawa semuanya ke sebuah tempat yang pernah ia temui
Dimana ketentraman dan ketenangan menjadi bagian dari kehidupan

Seorang petualang katanya orang yang romantis
Kata-katanya menyiratkan kelembutan hatinya
Kata-katanya yang keluar tersirat dari hatinya
Keindahan alam bebas yang dijelajahinya memburat dihatinya

Seorang petualang katanya seorang yang egois
Kalo sudah ingin pergi berpetualang
Siapa dan apapun tidak bisa menghalanginya
Kecuali tentunya Tuhan Yang Maha Esa

Seorang petualang katanya orang yang toleran
Karena mempunyai kawan dari setiap kalangan
Karena tidak pernah memilih teman dalam perjalanan
Karena tidak pernah memandang golongan teman seperjalanan

Seorang petualang katanya orang yang ringan tangan
Karena biasa saling berbagi suka duka dalam perjalanan
Karena dalam perjalanan temanlah tempat berbagi
Siap menolong siapapun yang kesusahan walau tidak dikenalnya

Seorang petualang katanya orang yang mudah menangis
Karena ketidak adilan yang dilihatnya telah merubah pemikirannya
Karena kemiskinan yang dilihatnya telah mengisi relung hatinya
Karena pesona keindahan alam telah melembutkan hatinya
Karena akan hancur hatinya bila melihat alam yang kian porak poranda

Seorang petualang katanya titik titik titik
Entah sudah berapa banyak ungkapan orang tentang seorang petualang
Tetapi yang pasti seorang petualang adalah juga manusia
Manusia yang sama dengan makhkuk manusia yang menghuni bumi ini
Manusia yang juga bisa mengajarkan kebenaran maupun kesalahan
Manusia yang juga bisa berbuat kebaikan dan kehancuran

Mungkin yang membedakannya hanyalah pengalamannya
Pengalamannya melihat alam ciptaan Tuhan
Pengalamannya melihat segala perbedaan yang ada
Pengalamannya melihat dunia dari sudut yang berbeda
Dan seorang petualang adalah manusia yang juga manusia


Kamis, 10 Desember 2009

PENGARUH GLOBAL WARMING TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA

Pemanasan global merupakan proses pemanasan pada bagian atmosfer karena untuk menghangatkan tumbuhan dari suhu yang dingin, sehingga tumbuhan dapat bertahan pada musim dingin. Cahaya matahari yang masuk ke bumi akan ditahan oleh lapisan ozon agar sinar yang masuk ke dalam bumi adalah sinar yang tidak membahayakan bagi makhluk hidup dan lapisan ozon akan mempertahankan suhu bumi agar tetap stabil. Radiasi matahari yang masuk ke bumi dalam bentuk gelombang pendek yang menembus atmosfer bumi kemudian berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang dipantulkan kembali ke atmosfer. Akan tetapi tidak semua gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar karena dihadang dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer yang disebut gas rumah kaca. Peristiwa alam ini dikenal dengan efek rumah kaca.

Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca secara signifikan, sehingga menyebabkan akumulasi panas di atmosfer yang mempengaruhi sistem iklim global. Hal ini menyebabkan naiknya temperatur rata-rata bumi yang dikenal dengan pemanasan global. Pemanasan global pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim, atau tepatnya perubahan beberapa variabel iklim seperti suhu udara dan curah hujan.

Enam jenis gas yang digolongkan sebagai gas rumah kaca, antara lain:

  1. Karbondioksida (CO2) yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi, batu bara, dan gas alam).
  2. Metana (CH4) berasal dari areal persawahan, pelapukan kayu, timbunan sampah, proses industri, dan eksplorasi bahan bakar fosil.
  3. Nitrous Oksida (N2O) yang berasal dari kegiatan pertanian atau pemupukan, transporasi, dan proses industri.
  4. Hidroflourokarbon (HFCs) berasal dari sistem pendingin, aerosol, foam, pelarut, dan pemadam kebakaran.
  5. Perflourokarbon (PFCs) berasal dari proses industri.
  6. Sulfurheksafluorida (SF6) berasal dari proses industri.

Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global akan menimbulkan dampak negatif, antara lain mencairnya lapisan es terutama di kutub utara dan selatan yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Akibatnya, volume lautan meningkat dan permukaannya naik sekitar 9-100 sentimeter sehingga akan menyebabkan tenggelamnya daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Perubahan iklim juga akan menyebabkan pergeseran musim. Musim kemarau akan berlangsung lama dan dapat menyebabkan kekeringan, sehingga kebakaran hutan meningkat. Kebakaran hutan akan menyebabkan gas CO yang berbahaya bagi manusia banyak terbentuk dan ikut masuk dalam saluran pernapasan manusia ketika sedang bernapas. Penumpukan gas CO dalam saluran pernapasan akan menyebabkan sesak nafas, sehingga mengganggu kesehatan. Pergeseran musim menyebabkan musim hujan datang lebih cepat dengan kecenderungan intensitas curah hujan yang lebih tinggi sehingga menyebabkan banjir dan tanah longsor. Banjir merupakan luapan air yang melanda suatu daerah tertentu. Luapan air tersebut dapat membahayakan kesehatan manusia, karena di dalamnya terdapat mikroorganisme penyebab penyakit, sehingga dapat menurunkan kualitas air dan terjadinya krisis persediaan makanan. Penurunan kualitas air dan krisis persediaan makanan menyebabkan timbulnya penyakit, seperti malaria, demam berdarah, dan diare.

Perubahan iklim dapat kita antisipasi salah satunya dengan adaptasi (penyesuaian) terhadap perubahan iklim yang bertujuan untuk meminimalisasi dampak yang telah terjadi, mengantisipasi resiko, sekaligus mengurangi biaya yang harus dikeluarkan akibat perubahan iklim. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk beradaptasi antara lain:

  1. Memahami kondisi cuaca dan pergerakan angin sebelum beraktivitas.
  2. Penyesuaian pola tanam yang mengikuti peruahan musim.
  3. Tidak menggali tanah yang miring di lereng bukit atau gunung untuk mencegah longsor.
  4. Bagi yang bertempat tinggal di dekat pantai, agar mewaspadai pasang air laut.
  5. Membudayakan hidup bersih dan membiasakan membuang sampah pada tempatnya unuk mencegah banjir karena tersumbatnya aliran air.
  6. Membuat bak atau kolam untuk menampung hujan dan membuat sumur resapan.

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek rumah kaca sehingga dapat memperlambat laju pemanasan global adalah:

  1. Membudayakan gemar menanam pohon dan menggunakan tanaman hidup sebagai pagar rumah.
  2. Penebangan pohon harus diikuti dengan penanaman kembali bibit pohon yang sama dalam jumlah lebih banyak.
  3. Hindari membakar sampah.
  4. Jangan membuka lahan dengan membakar.
  5. Hemat energi.
  6. Usahakan menggunakan transportasi umum dan kendaraan yang berbahan bakar ramah lingkungan.
  7. Rawat mesin kendaraan secara berkala agar emisi gas buang kendaraan baik.
  8. Bagi industri, selalu memantau emisi gas buang limbahnya.

Selasa, 08 Desember 2009

SOE HOK GIE

Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. (By Bear_Nyee '05)

Senin, 30 November 2009

DASAR-DASAR FOTOGRAFI

segitiga fotografi itu ya ada tiga:
1. ISO/ASA/DIN
2. Aperture/Bukaan Diafragma
3. Speed
nah, kalo lo udah nguasain hubungan antara ketiga itu, lo udah bisa jadi darwis triadi kedua….hehehe
di kamera pocket, segitiga fotografi itu sebenernya juga ada. cuma untuk memudahkan pemakaian, biasanya ngga terlalu dihiraukan oleh si pemakai. padahal, kalo kamera pocket itu bisa lo optimalin segitiga fotografinya, lo bisa dapet gambar bagus juga.
coba deh, kalo motret, jangan manja pake settingan auto terus. cobain yang setting manual. lo coba set ISOnya brp, aperturenya berapa, sama speednya berapa. cobain kombinasi sendiri dan liat hasilnya kayak gimana. ntar lo bisa bedain.
1. ISO/ASA/DIN (ISO=istilah internasional, ASA=istilah jepang, DIN=istilah eropa, kesemuanya sama aja)
ini adalah standar internasional untuk “kepekaan film negatif/CCD menyerap cahaya”. tambah tinggi angkanya, tambah peka media tersebut menyerap cahaya. kalo jaman dulu lo suka beli film negatif ke fuji, dengan ASA 200, ASA 400, dsb. ya itulah dia. karakternya kayak begini:
a. kalo lo make ISO tinggi (misal: ISO 800, ISO 1200, ISO 1600)
penyerapan cahaya makin peka. bagus buat night shot. kemungkinan gambar shaking akan lebih kecil, karena karakternya yg kuat menyerap cahaya, lo jadi bisa motret dengan speed tinggi yang mengurangi efek shaking dari tangan lo yang bergeter saat motret.
kekurangannya, semakin tinggi lo pake ISO, noise warna makin banyak karena sifatnya yang sangat peka itu. jadi, kalo lo motret pake ISO tinggi, hasil cetakan foto akan lebih jelek kalo diperbesar. efek noise atau grainy-nya sangat mengganggu.
b. kalo lo make ISO rendah (misal: ISO 200, ISO 100, ISO 75, ISO 25)
penyerapan cahaya makin kurang peka. bagus buat daylight shot, atau ketika cahaya cukup memadai. tapi begitu lo motret di tempat yg rada gelap, akan sangat sulit buat lo memotret dengan speed tinggi. kemungkinan shaking lebih besar, dan pemakaian tripod jadi sebuah keharusan.
tapi kelebihannya, semakin rendah lo pake ISO, noise warna makin sedikit karena sifatnya yang tidak peka itu. jadi, kalo lo motret pake ISO rendah, hasil cetakan foto jika diperbesar, akan tetep bagus dan bening. efek noise atau grainy-nya bisa dibilang tidak terlihat.
kelebihan kamera digital sekarang, lo bisa nge-set ISOnya kapanpun lo mau. begitu cahaya rada gelap, naekin ISOnya. begitu terang, ya gak usah pake ISO tinggi2 tinggal di set aja di menunya. beda sama jaman film dulu, kalo lo dah beli film yg ISO 200, ya musti ganti film dulu buat ganti ISO.
2. aperture/bukaan diafragma (simbolnya: f/…)
diafragma, fungsinya sama persis dengan pupil mata kita. yaitu, mengatur seberapa banyak intensitas cahaya yang akan masuk jatuh ke retina-mata/film negatif/CCD untuk selanjutnya di olah di otak/memory-card sebagai sebuah visual/gambar. di dunia fotografi, ditetapkan angka2 tertentu untuk menentukan seberapa lebar bukaan diafragma. contohnya, ada bukaan f/2.8, bukaan f/4, f/5.6, f/8, f/11, f/16, f/22. setiap angka bukaan itu, punya karakternya masing2. yang perlu menjadi catatan penting di sini adalah, semakin kecil angka diafragma maka semakin lebar bukaan diafragmanya, dan semakin besar angka diafragma maka semakin kecil bukaan diafragmanya.
misal: angka 2.8 memiliki bukaan lebar, sedangkan angka 22 memiliki bukaan sempit.
bukaan lebar (misal: f/2.8), memiliki karakter yang akan membuat intensitas cahaya banyak masuk ke film-negatif. efek pada gambar adalah, objek fokus akan sangat detail sedangkan background/foregroundnya akan kabur/blur/bokeh. bukaan ini sering dipakai untuk foto potret dimanaa lo pengen gambar yang hanya tajam di objek dan kabur di backgroundnya.
bukaan sempit (misal: f/22), memiliki karakter yang akan membuat intensitas cahaya sedikit masuk ke film-negatif. efek pada gambar adalah, tidak hanya objek fokus yang akan sangat detail, background/foregroundnya akan juga ikutan detail. bukaan ini sering dipakai untuk foto landscape dimana lo pengen gambar yang tajam dari ujung dekat ke ujung jauh.
ngerti cara kerja diafragma, berarti lo harus paham apa itu Depth of Field (DOF). atau bahasa indonesianya, ruang tajam gambar. bukaan lebar, DOF akan semakin sempit. bukaan sempit, DOF akan semakin lebar.
Kadal_1kalo lo liat foto kadal gue yang dulu, foto itu sangat menunjukkan apa itu DOF. gue pake bukaan lebar (kalo gak salah gue pake bukaan 3.3), dimana ruang tajam gambarnya jadi cuma di kepala kadalnya aja, sedangkan badannya hingga ke buntutnya, jadi kabur/blur/bokeh. kalo gue motretnya pake bukaan f/16, udah pasti jadinya semua kepala sampe buntut, tajam semua.
nah, diafragma sama speed, hubungannya sangat kuat. semakin lebar bukaannya, maka semakin gampang lo ambil gambar high-speed karena intensitas cahaya yang banyak. sebaliknya, semakin sempit bukaannya, akan terasa sulit mendapatkan high-speed karena intensitas cahayanya yang berkurang, yg mana pemakaian tripod untuk menghindari hand-shaking menjadi sangat mutlak.
3. speed
nah kalo yang ini, dah pada tau lah artinya apa. adalah kecepatan interval mirror di kamera membuka dan menutup saat menangkap gambar. semakin cepat speednya, lo bisa dapet gambar yang freeze/beku.
Water_holdkalo lo motret air mancur dengan speed tinggi, gambar airnya bakalan dapet bulet2 gitu kayak gambar air gue yang di sebelah ini (gue pake speed 1/8000 sec, f/3.8, ISO200).

Diana1_1kalo lo pake low-speed, lo bakalan dapet gambar dengan efek gerakan, contohnya gambar model gue yang main air itu, kalo gak salah gue ngambilnya dengan speed 1/15 sec, f/4.5, ISO 200.
nah, yang terakhir untuk kesimpulan dari segitiga fotografi:
4. metering
usahain saat motret, metering ada di posisi nol. nggak mutlak sih, tapi untuk dapet cahaya yg pas, mending diusahain di posisi nol. metering, cuma ada di kamera SLR. kamera pocket, gue blm pernah liat. icon metering, ada di viewfinder saat lo motret. kurang lebih bentuknya kayak gini: (+_____|_____-) nah usahain, pointernya ada di tengah. kalo pointernya agak menjorok ke arah plus, berarti hasil gambar lo akan Over Exposure (terlalu terang). kalo pointernya agak menjorok ke arah minus, berarti hasil gambar lo akan Under Exposure (terlalu gelap). pengaturan metering adalah dengan cara maen2in bukaan diafragma, speed, dan ISO-nya, diturunin atao dinaekin, terserah elo pengen jadi gambar gimana.
sebenernya, di jaman digital gini dimana kamera semakin canggih, masih ada satu bahasan lagi tentang dasar-dasar fotografi, selain segitiga fotografi yang gue terangkan di atas, yaitu:
5. white balance (WB)
white balance adalah seberapa besar kamera menyesuaikan sensitifitasnya terhadap cahaya yang ada (available light) untuk menyamakan warna putih yang “sebenarnya” pada kondisi cahaya tertentu, agar bisa mendapatkan warna-warna yang true color. sayangnya, kamera2 jaman dulu belom ada fitur setting WB ini. tapi, untuk kamera2 digital jaman sekarang, udah ada.
ngomongin white balance, musti tau dulu definisi apa itu “warna putih sempurna”. ketika sebuah besi baja dibakar, maka baja tersebut akan berubah warna sampai memerah, jika terus dibakar maka baja tersebut semakin panas hingga berwarna putih, dan jika masih terus dibakar maka akan berubah berwarna biru.
nah warna putih sempurna, akan didapatkan ketika baja tersebut dibakar berubah menjadi warna putih suci. kalo gue nggak lupa (CMIIW), suhu baja tersebut saat berwarna putih adalah berkisar antara 5200-5400K (derajat kelvin). nah, itu yang dinamakan putih sempurna. kalo warna putihnya kemerahan, berarti suhunya di bawah 5200K. kalo warna putihnya kebiruan, berarti suhunya di atas 5400K.
saat memotret, kita akan mendapatkan kondisi sumber cahaya yang berbeda-beda, yang mana akan berpengaruh pada objek yang warna putih. kalo setting WB kita asal2an, atau kita set auto, kadang kita nggak puas sama warna yang kita mau, alias warnanya nggak keluar. kalo kita nggak nge-set WB secara manual, kadang warna putih yang kita dapatkan akan kebiruan, atau kemerahan. di saat seperti itu, kita perlu setting WB secara benar. di setiap kamera, cara setting WB berbeda-beda, bisa dibaca di manualnya masing2.
naaaahhh…kalo lo udah kuasain konsep segitiga fotografi ini, dijamin gambar lo bagus2. tapi itu baru dasarnya banget. baru sekedar cara untuk memotret. selebihnya, banyak2 ngejepret + tambahin belajar konsep, angle, komposisi, lighting, dan tentu saja…moment!!! karena, cabang2 fotografi masih banyak lagi dah lebih dalam lagi kalo mau diexplore.
gitchuuu…. (By share_kemp'08)

Kamis, 05 November 2009

Mendaki Gunung = Menghargai Hidup....!!!


Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.

Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah.

Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”

Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!

Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.

Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir.

Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!!

Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.

Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling
damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri.

Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya.

Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya.

Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akkembali ke urat akar di mana dia hidup.

Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak.

Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.
Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah.

Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini.

Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.

Posted by birnyi from Aji Rachmat

Minggu, 25 Oktober 2009

HARIMAU JAWA

Harimau Jawa

Harimau Jawa adalah jenis harimau yang hidup di pulau jawa. Harimau ini dinyatakan punah di sekitar tahun a980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat binatang ini secara drastis. Walaupun begitu, ada juga kemungkinan kepunahan ini terjadi di sekitar tahu 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekior jenis harimau ini. Terakhir kali ada sinyalemen dari harimau jawa ialah di tahun 1972. Di tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di pulua Jawa. Walaupun begitu, ada kemungkinan kecil binatang ini belum punah. Di tahun 1990-an ada beberapa laporan tentang keberaadaan hewan ini, walaupun hal ini tidak bisa diverfikasi.

Di akhir abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di pulau Jawa. Di tahun 1940-an, harimau jawa hanya ditemukan di hutan-hutan terpencil. Ada usaha-usaha untuk menyelamatkan harimau ini dengan membuka beberapa taman nasional. Namun, ukuran taman ini terlalu kecil dan mangsa harimau terlalu sedikit. Di tahun 1950-an, ketika populasi harimau Jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Di tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional meru Betiri. Walaupun taman nasional ini dilindungi, banyak yang membuka lahan pertanian disitu dan membuat harimau jawa semakin terancam dan kemudian diperkirakan punah di tahun 80-an.

Harimau jawa berukuran kecil dibandingkan jenis-jenis harimau lain. Harimau jantan mempunyai berat 100-141 kg dan tingginya kira-kira 2.43 meter. Betina berbobot legih ringan, yaitu 75-115 kg dan sedikit lebih pendek dari jenis jantan.

Di samping harimau jawa, ada dua jenis harimau yang punah di abad ke-20, yaitu Harimau bali dan Harimau Persia. Secara Biologis, harimau jawa mempunyai hubungan sangat dekat dengan harimau bali. Beberapa ahli biologi bahkan menyatakan bahwa mereka adalah satu spesies. Namun, banyak juga yang membantah pernyataan ini.

Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Carnivora
Famili: Felidae Genus: Panthera Spesies: P. tigris Subspesies: Panthera tigris sondaica

Analisis Morfometri Harimau jawa berdasarkan Foto tahun 1957 :
1. Panjang tubuh dari kepala sampai dengan pangkal ekor sekitar: 160 – 180 cm.
2. Tinggi bahu jika berdiri sekitar 85 – 100 cm.
3. Lebar tubuh sekitar 45 – 50 cm.
4. Panjang ekor sekitar 85 – 90 cm.
5. Diameter jejak kaki depan sekitar (20 x 20) cm – (23 x 23)cm.
6. Jarak antar dua kuku kaki depan yang berdekatan sekitar 4 – 6 cm.
7. Strip hitam ditubuh tipis dan banyak, ada yang bercabang dan hampir rapat.
8. Moncong hidungnya menyempit dan cenderung memanjang.
9. Coretan loreng di pipi tipis dan renggang.
10. Garis putih dibawah mata sangat lebar.
11. Dahinya agak menonjol, terutama di atas mata.
12. Sidik jidat renggang dan jarang.
13. Pola sidik jidat agak mundur kebelakang dari pertemuan hidung dan kepala diantara dua mata.
14. Surai panjang dan lebat di samping depan bagian bawah daun telinga.
15. Panjang rambut kumis berkisar dari 5 cm – 25 cm.

Ada sejumlah bukti yang menyatakan bahwa harimau Jawa masih eksis. Sekelompok orang yang begitu yakin keberadaan hewan yang dinyatakan punah itu melakukan riset. Apa tujuannya?
Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) sejak 1996 sudah dinyatakan punah dalam rapat Convention on International Trade in Endangered Species di Florida, Amerika Serikat (AS). Tapi ada sebagian orang yang percaya bahwa spesies itu masih eksis sampai hari ini. Peduli Karnivor Jawa (PJK), begitu mereka menamakan dirinya, sejak 1996 melakukan riset di beberapa lokasi di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
“Terakhir kami menemukan jejak rambut harimau Jawa di kedua tempat tadi. Akan kami lakukan tes DNA untuk memastikannya,” ujar Didik Rahayono, Koordinator PJK kepada SH di Jakarta baru-baru ini. Menurut lelaki yang sehari-hari bekerja pada Divisi Inovasi Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa Liar Yogyakarta ini, studi keberadaan harimau Jawa lebih difokuskan pada arti spesies tersebut sebagai predator yang menjadi kunci ekosistem hutan di Jawa. “Harimau adalah hewan predator. Jika kondisi predator dalam suatu ekosistem masih bagus, berarti keseluruhan satwa lain juga bagus,” tutur Didik.
Dari studi di sejumlah titik seperti Meru Betiri, Raung, Alas Purwo, Wilis, Wijen, Gunung Slamet dan tempat lain, diperkirakan masih ada antara 15-20 harimau Jawa yang masih hidup.
Jumlah itu bisa saja menyusut kalau habitat mereka berkurang. Tapi kalau ada langkah perbaikan terhadap ekosistem hutan di Jawa, bukan tidak mungkin spesies tersebut bisa bertambah jumlahnya. Didik berpendapat, keyakinan bahwa harimau Jawa sudah punah sudah demikian mengakar, sehingga tidak ada akademisi yang berani melakukan penelitian lebih lanjut.
Sejak 1996, Didik bersama rekannya di PJK telah berhasil menemukan jejak kaki, feses, garutan di pohon dan rambut yang kesemuanya itu mengindikasikan masih adanya satwa endemik Jawa tersebut. Perlu dipahami, bahwa kehadiran spesies di suatu habitat dapat dideteksi berdasarkan bekas aktivitas yang ditinggalkannya, demikian halnya dengan harimau jawa.
Sebagai karnivor, harimau Jawa telah beradaptasi dengan sempurna guna menyembunyikan sosok tubuhnya agar tidak diketahui hewan mangsa. Sehingga tidaklah mudah melihat secara manual sosok harimau Jawa di hutan tropis Jawa, jika kita hanya setahun atau dua tahun mengunjungi habitatnya. Kecuali orang yang kesehariannya benar-benar berinteraksi dengan habitat harimau Jawa.
“Bekas aktivitas harimau Sumatera dan macan tutul di berbagai kebun binatang di Jawa kami jadikan sebagai referensi pembanding. Ukuran besarnya bekas aktivitas yang kami temukan jika melebihi ukuran maksimum macan tutul dan sama atau bahkan lebih besar dari ukuran harimau Sumatera, maka kami klaim sebagai milik harimau Jawa.
Hasil survei kami dari berbagai habitat di Jawa menemukan jejak kaki (28×26 cm), feses berdiameter 7 cm, garutan di pohon (luka tertinggi 252 cm), bahkan rambut harimau Jawa,” papar Didik di website www.javantiger.or.id yang sengaja dibuat sebagai kampanye keberadaan harimau Jawa.

Studi
Guna pembanding, Didik dan kawan-kawan menggunakan rambut macan tutul opsetan milik Museum Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Medula rambut harimau Jawa bertipe Intermediate berpola Regularem berbeda strukturnya jika dibandingkan medula rambut macan tutul yang bertipe Discontinue berpola Irregulare. Identifikasi menggunakan Scanning Electron Microscop (SEM) terhadap rambut yang berasal dari garutan baru di pohon.
Dari studi-studi itu, berhasil diketahui bahwa harimau Jawa tidak hanya di TN Meru Betiri, karena mereka juga menemukan rambut harimau Jawa di Jawa Tengah yang berjarak lebih dari 600 kilometer dari habitat terakhirnya. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa habitat terakhir harimau Jawa adalah Pulau Jawa, bukan hanya TN Meru Betiri.
Foto harimau Jawa hidup di alam yang beredar secara internasional adalah hasil karya Hoogerwerf tahun 1938 dari Taman Nasional Ujung Kulon. Berbagai sumber publikasi ilmiah menyatakan bahwa harimau Jawa terakhir dibunuh sekitar 1941, setelah tahun tersebut hampir tidak ada laporan tentang pembunuhan satwa kharismatik dan endemik Pulau Jawa ini.
Tetapi hasil investigasi dan penelusuran informasi yang dilakukan oleh Mitra Meru Betiri (MMB) pada tahun 1998 mendapatkan sebuah data tentang foto sosok harimau Jawa terbaru (foto dari tahun 1957). Walaupun satwa tersebut sudah mati ditembak, namun kandungan informasi ilmu pengetahuannya sangat penting karena menjadi bukti ilmiah terbaru -19 tahun lebih muda daripada foto tahun 1938 hasil karya Hoogerwerf.
Foto tahun 1957 itu merupakan satu-satunya bukti ilmiah terkuat tentang besarnya ukuran tubuh yang dapat dicapai harimau Jawa jantan dewasa, karena memberikan informasi terbaru tentang pola loreng dan karakter sidik jidat harimau Jawa secara jelas. Foto tahun 1957 itu merupakan koleksi seorang mantan sinder dari sebuah perkebunan di eks. Karesidenan Besuki Jawa Timur.
Betulkah harimau Jawa masih eksis sampai hari ini? Agaknya tidak penting benar jawabannya. Dari tuturan Didik, yang lebih penting adalah bagaimana menjaga ekosistem hutan di Jawa sekarang ini agar spesies lain tidak senasib dengan harimau Jawa yang diberitakan punah. (merry Magdalena, Sinar Harapan 2003)

Posted By Birnyi

Rabu, 14 Oktober 2009

MAPALA UMJ NEWS !!! Perekrutan anggota Baru MAPALA UMJ Tahun Angkatan 2009/XIX

Bagi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah yang ingin mencalonkan diri sebagai Anggota MAPALA UMJ, segera daftarkan diri kalian! di sini kalian bisa mendalami pengetahuan di bidang :
- Gunung Hutan
- Arung jeram
- Susur Goa
- Fotografi & Jurnalistik
- Panjat Tebing
- Konservasi, dll.....
Tentunya dengan persyaratan :
1. Membayar konstribusi Rp.75.000,0
dengan fasilitas : kaos lapang, konsumsi, buku panduan, transportasi, Dispensasi selama
kegiatan.
2. Mengisi Formulir Pendaftaran
3. Mengikuti susunan acara, antara lain :
- DIKLAT RUANG : 26 s/d 28 Oktober 2009
Pukul : 14.00 wib - selesai
Tempat : Sekretariat Universitas Muhammadiyah Jember
- DIKLAT LAPANG : 16 s/d 22 November 2009
Tempat : Taman Nasional Meru Betiri (Pantai Bandealit - Teluk Meru)
- KARANTINA PESERTA : 15 Novermber 2009
Tempat : Sekretariat Mapala Umj.
WAJIB !!! Semua Peserta di Fasilitasi 2 kamar (hotel) untuk ceklist
perlengkapan
DIKLATSAR (diklat lapang)

Untuk Info lebih lanjut :
Hub. CP : 081336331489 (Doni Riski)
085236009970 (Dwi)

NEW MAPALA UMJ

Mari Bergabung bersama, untuk wujudkan pribadi yang mandiri dan selaras dengan Alam........!

BENCANA ATAU BENCANA ?

Jangan lagi kau sebut negeri ini sebagai sebuah negeri "Untaian zamrud khatulistiwa", negeri "tongkat kayu dan batu jadi tanaman" (Koes Plus). Jangan pernah. Karena semua itu telah berlalu. Jangan lagi Rata Penuhkau katakan penduduk negeri ini ramah-ramah, suka bergotong-royong dan saling tolong-menolong. Itu dahulu, sobat!Kini, rakyat negeri "tanah subur rakyat nganggur" ini telah berubah menjadi individualis dan pragmatis.

***

Ungkapan di atas sepertinya terlalu sarkastik untuk mendeskrepsikan realita objektif yang menerpa bangsa ini. Terlalu di-dramatisir barangkali. Tapi toh, segalanya hampir dilakukan bangsa ini dalam "drama" yang melankoli. Tengoklah geliat kesadaran bangsa yang nyaris terlambat, bahwa kita baru tersadar dari "sakit nasional" ketika harus mengeluarkan segoceh rezeki menunggu Aceh dilanda tsunami. Kita baru berbondong-bondong menjadi manusia paling prihatin, paling peka, paling baik terhadap sesama tatkala dihadapkan pada bencana Gempa di Tasikmalaya dan rentetan bencana-bencana lainnya.


Dan itulah kondisi negeri kita yang sesungguhnya. Negeri dengan kompleksitas problema yang absurd dan terkesan paradoks. Tapi toh, sebagian rakyat kita terlanjur surfive dan merasa enjoy dengan segala yang terjadi. Terlanjur positive thinking barangkali. "Ini kan cobaan, jadi jangan dianggap penderitaan dong...", begitu mungkin argumentasi mereka. "Musibah itu kan wajar, namanya juga kehidupan..." tambah mereka. Dan semuanya akan berjalan dengan rutinitas yang paling wajar.

Inilah bangsa kita yang sebenarnya. Bangsa yang hanya tercipta dalam angan-angan. Imagined Community, Kata Benedic Anderson. Karena hanya angan-angan, maka yang mampu dilakukan hanyalah berimajinasi. Bagaimana seandainya bangsa ini mampu keluar dari jurang keterpurukan? Bagaimana seandainya negeri ini menjadi subur, rakyatnya makmur, kehidupannya teratur? Bagimana seandainya rakyat sadar bahwa bencana yang silih berganti ini adalah cobaan atau barangkali teguran? Dan masih banyak 'bagaimana-bagaimana' yang lain....

Memperbincangkan Teologi Bencana
Dari sudut manapun, barisan bencana yang melanda bangsa ini menjadi suatu yang sungguh fenomenal. Rentetan peristiwa "bersejarah" yang mengiris-iris nurani dan memilukan hati terjadi silih berganti dalam hitungan hari.

Dimulai dari Tsunami di Aceh yang "menggemparkan" dunia,kemudian hadir kembali di tepian pantai selatan Jawa beberapa tahun lalu, gempa tekto-fulkanik di Irian, Maluku, Jogjakarta dan terakhir di Sumatera Barat. Bencana longsor yang hampir merata dari Irian Barat, Jawa Barat hingga Sumatra Barat, sampai pada bencana yang berpangkal dari ulah manusia seperti semburan Lumpur Lapindo dan kecelakaan transportasi darat, laut dan udara tak pernah berhenti terjadi bagai tak bosan mendera rakyat dan bangsa ini. Dan bahkan belum seminggu lalu, yakni peristiwa Gempa yang meluluhtantakkan Tasikmalaya dan sebagian daerah di Jawa Barat.

Sebegitu runtun-sistematis dan kerapnya jarak antara satu bencana dengan bencana lainnya, sehingga sepertinya sudah --meminjam istilah sosial--"mentradisi" di tanah air tercinta ini. Menjadi santapan rutin para pemirsa telivisi dan hedaline news paling menarik bagi wartawan yang sebenarnya hampir memuakkan.

Karena bangsa kita terlanjur dikenal sebagai masyarakat relegius, maka pertanyaan yang mencuat adalah, sejauh mana fenomena mega bencana negeri ini berpengaruh terhadap perubahan sikap dan resistensi pemikiran masyarakat kita? Bagaimana wacana teologis masyarakat dalam memandang dan menyikapi bencana dahsyat yang menimpa sekeliling mereka?

Pertanyaan di atas teramat krusial untuk diajukan, mengingat implikasi bencana-bencana yang terjadi tidak saja berdampak pada persoalan ekonomi, sosial, psikologi dan politik, tetapi juga masalah teologi dan alam pikir masyarakat yang terkena dan yang menyaksikan bencana.

Dardiri Husni MA, Kepala Institute for Southeast Asia Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau, menjelaskan, setidaknya ada tiga arus pemikiran atau mainstream yang mengitari masyarakat kita ketika menyaksikan bencana yang terus-menerus silih berganti antara bencana alam dan bencana yang timbul dari ulah manusia dalam beberapa tahun belakangan ini yakni; teologi mistis, nihilistic dan religio-fenomenologis.

Pertama, teologi mistis-klenis. Rentetan bencana yang secara kebetulan terjadi dan mendera bangsa ini makin sering di masa kepemimpinan SBY-Kalla. Hal ini, mengundang spekulasi pemikiran berbau klenik bahwa duet pemimpin ini tidak diterima atau lemah secara spiritual untuk memimpin negeri ini. Terbukti di awal tahun kepemimpinan Sby-JK, tiba-tiba Badai Tsunami menghantam Aceh. Begitu mungkin pendukung golongan ini berargumentasi.

Bencana yang menyatakan kehendak alam malah ditafsirkan sebagai keengganan kalau bukan penolakan atas representasi mereka. Ini kan sama dengan mencari "kambing hitam" untuk dijadikan pelabuhan kekesalan atau bahkan kefrustasian. "Bahkan ada yang dengan kotak-katik asal jadi ala klenik, mengambil persamaan kata dengan tokoh dan alam pikir dunia pewayangan, meyakini bahwa jika yang berkuasa di bumi adalah Bethara Yudho (Yudhoyono?) dan Bethara Kala (J Kalla?), maka yang akan terjadi adalah bencana", jelas Dardiri Husni MA.

Pemikiran dan pemahaman (baca: teologi) semacam ini tidak hanya salah dari sudut logika karena mengukur dengan mitos yang berkembang di belakang hari tanpa preseden, tetapi sekaligus juga menyesatkan karena berbasis tahayul dan apriori. Ini bukan lagi teologi bencana, tetapi lebih tepat dikatan bencana teologi.

Kedua, teologi nihilistis. Deretan bencana yang selalu membawa nestapa kematian yang begitu kerap terjadi di tengah himpitan kesulitan hidup dan merajalelanya ketidak-adilan politik, sosial dan ekonomi menjadikan masyarakat terbiasa acuh dan kehilangan kepekaan alam dan sosialnya. Bencana telah menjadi rutinitas yang sebetulnya memuakkan, tetapoi terlanjur dianggap suatu kewajaran, bahkan mungkin keniscayaan.

Penyebabnya tidak lain adalah ekspos terhadap rusaknya alam dan sosial yang terlalu akrab di telinga dan mata mereka atas kemajuan di bidang telekomunikasi dan informasi, menyebabkan bencana yang terjadi dianggap sebagai suatu hal yang biasa, lumrha, wajar dan "apa adanya".

Di lain pihak, dalam dunia riil mereka dengan jelas menyaksikan para politisi, pemimpin, hakim dan penegak hukum seringkali tidak peduli, bahkan dengan seenaknya memperlakukan rakyat kecil sebagai bulan-bulanan politik dan ketidak adilan tanpa ada yang mampu melindungi mereka. Inilah penyebabnya.

Bencana sosial, ekonomi dan politik yang mendera tanpa habis dirasakan oleh mereka di daerah, telah membuat mereka tidak lagi sempat memperhatikan orang lain yang sedang tertimpa musibah di tempat lain. Akhirnya sikap acuh tak acuh dan "masa bodoh" mengkristal karena membentuk pikiran mereka sehingga masyarakat cenderung untuk berpikir apatis. Ah, persetan dengan musibah dan bencana....

Ketiga, teologi religio-fenomenologis. Konsep ini, biasanya merujuk kepada Alquran, yaitu doktrin bahwa "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mareka sebahagian dari (akibat) perbuatan mareka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Rum ayat 40).

Hal ini, muncul tidak lepas dari sifat ketamakan atau kerakusan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kemaslahatan umat, sehingga mereka tidak mau mendengar panduan Ilahi. Maka yang menjadi persoalan adalah ketika konsep "bencana", yang pada awalnya dipahami sebagai "symbol" peringatan Tuhan terhadap sikap-sikap egoisme manusia terhadap alam, secara berlahan mulai memudar dan bahkan mungkin hilang tanpa bekas.

Di sinilah persoalannya. Lambat laun, tapi pasti, gejolak ini akan memunculkan apatisme, untuk tidak mengatakan erosi teologis, dalam ruang kognitif umat di negara ini, terhadap setiap bencana yang muncul. Sehingga, orang tidak lagi merasa prihatin terhadap musibah yang menimpa saudara-saudara mereka. Dan disinilah lagi-lagi bencana teologis itu menemukan relevansinya.

Akhirnya, jika kondisi ini menjadi mindset dalam setiap kepala umat di negeri ini, maka tidak ada harapan lagi bagi umat di negeri ini untuk bangkit. Itulah bencana teologis terparah yang tiap detik bakal mengintai hati dan rikiran rakyat di negeri "cengengesan ini".

(Posted by bearNyee.05)

KEKUATAN GEMPA

Kekuatan gempa tidak selalu sama. Perbedaan ukuran gempa bisa menyebabkan efek yang berbeda pula. Gempa bisa diukur dengan alat yang dinamakan seismograf. Sementara satuan ukuran besar gempa pada umumnya memakai skala richter

Skala richter atau SR, diusulkan oleh seorang fisikawan Amerika Serikat, Charles Richter. Dengan menggunakan seismograf, gempa diukur dengan melihat tinggi gelombang yang tercatat di kertas seismogram oleh pena seismograf. Dari coretan yang dihasilkan oleh seismograf, para peneliti bisa mengetahui besar skala dan jarak pusat gempa.

(Posted by bearnyee.05)