Rabu, 14 Oktober 2009

BENCANA ATAU BENCANA ?

Jangan lagi kau sebut negeri ini sebagai sebuah negeri "Untaian zamrud khatulistiwa", negeri "tongkat kayu dan batu jadi tanaman" (Koes Plus). Jangan pernah. Karena semua itu telah berlalu. Jangan lagi Rata Penuhkau katakan penduduk negeri ini ramah-ramah, suka bergotong-royong dan saling tolong-menolong. Itu dahulu, sobat!Kini, rakyat negeri "tanah subur rakyat nganggur" ini telah berubah menjadi individualis dan pragmatis.

***

Ungkapan di atas sepertinya terlalu sarkastik untuk mendeskrepsikan realita objektif yang menerpa bangsa ini. Terlalu di-dramatisir barangkali. Tapi toh, segalanya hampir dilakukan bangsa ini dalam "drama" yang melankoli. Tengoklah geliat kesadaran bangsa yang nyaris terlambat, bahwa kita baru tersadar dari "sakit nasional" ketika harus mengeluarkan segoceh rezeki menunggu Aceh dilanda tsunami. Kita baru berbondong-bondong menjadi manusia paling prihatin, paling peka, paling baik terhadap sesama tatkala dihadapkan pada bencana Gempa di Tasikmalaya dan rentetan bencana-bencana lainnya.


Dan itulah kondisi negeri kita yang sesungguhnya. Negeri dengan kompleksitas problema yang absurd dan terkesan paradoks. Tapi toh, sebagian rakyat kita terlanjur surfive dan merasa enjoy dengan segala yang terjadi. Terlanjur positive thinking barangkali. "Ini kan cobaan, jadi jangan dianggap penderitaan dong...", begitu mungkin argumentasi mereka. "Musibah itu kan wajar, namanya juga kehidupan..." tambah mereka. Dan semuanya akan berjalan dengan rutinitas yang paling wajar.

Inilah bangsa kita yang sebenarnya. Bangsa yang hanya tercipta dalam angan-angan. Imagined Community, Kata Benedic Anderson. Karena hanya angan-angan, maka yang mampu dilakukan hanyalah berimajinasi. Bagaimana seandainya bangsa ini mampu keluar dari jurang keterpurukan? Bagaimana seandainya negeri ini menjadi subur, rakyatnya makmur, kehidupannya teratur? Bagimana seandainya rakyat sadar bahwa bencana yang silih berganti ini adalah cobaan atau barangkali teguran? Dan masih banyak 'bagaimana-bagaimana' yang lain....

Memperbincangkan Teologi Bencana
Dari sudut manapun, barisan bencana yang melanda bangsa ini menjadi suatu yang sungguh fenomenal. Rentetan peristiwa "bersejarah" yang mengiris-iris nurani dan memilukan hati terjadi silih berganti dalam hitungan hari.

Dimulai dari Tsunami di Aceh yang "menggemparkan" dunia,kemudian hadir kembali di tepian pantai selatan Jawa beberapa tahun lalu, gempa tekto-fulkanik di Irian, Maluku, Jogjakarta dan terakhir di Sumatera Barat. Bencana longsor yang hampir merata dari Irian Barat, Jawa Barat hingga Sumatra Barat, sampai pada bencana yang berpangkal dari ulah manusia seperti semburan Lumpur Lapindo dan kecelakaan transportasi darat, laut dan udara tak pernah berhenti terjadi bagai tak bosan mendera rakyat dan bangsa ini. Dan bahkan belum seminggu lalu, yakni peristiwa Gempa yang meluluhtantakkan Tasikmalaya dan sebagian daerah di Jawa Barat.

Sebegitu runtun-sistematis dan kerapnya jarak antara satu bencana dengan bencana lainnya, sehingga sepertinya sudah --meminjam istilah sosial--"mentradisi" di tanah air tercinta ini. Menjadi santapan rutin para pemirsa telivisi dan hedaline news paling menarik bagi wartawan yang sebenarnya hampir memuakkan.

Karena bangsa kita terlanjur dikenal sebagai masyarakat relegius, maka pertanyaan yang mencuat adalah, sejauh mana fenomena mega bencana negeri ini berpengaruh terhadap perubahan sikap dan resistensi pemikiran masyarakat kita? Bagaimana wacana teologis masyarakat dalam memandang dan menyikapi bencana dahsyat yang menimpa sekeliling mereka?

Pertanyaan di atas teramat krusial untuk diajukan, mengingat implikasi bencana-bencana yang terjadi tidak saja berdampak pada persoalan ekonomi, sosial, psikologi dan politik, tetapi juga masalah teologi dan alam pikir masyarakat yang terkena dan yang menyaksikan bencana.

Dardiri Husni MA, Kepala Institute for Southeast Asia Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau, menjelaskan, setidaknya ada tiga arus pemikiran atau mainstream yang mengitari masyarakat kita ketika menyaksikan bencana yang terus-menerus silih berganti antara bencana alam dan bencana yang timbul dari ulah manusia dalam beberapa tahun belakangan ini yakni; teologi mistis, nihilistic dan religio-fenomenologis.

Pertama, teologi mistis-klenis. Rentetan bencana yang secara kebetulan terjadi dan mendera bangsa ini makin sering di masa kepemimpinan SBY-Kalla. Hal ini, mengundang spekulasi pemikiran berbau klenik bahwa duet pemimpin ini tidak diterima atau lemah secara spiritual untuk memimpin negeri ini. Terbukti di awal tahun kepemimpinan Sby-JK, tiba-tiba Badai Tsunami menghantam Aceh. Begitu mungkin pendukung golongan ini berargumentasi.

Bencana yang menyatakan kehendak alam malah ditafsirkan sebagai keengganan kalau bukan penolakan atas representasi mereka. Ini kan sama dengan mencari "kambing hitam" untuk dijadikan pelabuhan kekesalan atau bahkan kefrustasian. "Bahkan ada yang dengan kotak-katik asal jadi ala klenik, mengambil persamaan kata dengan tokoh dan alam pikir dunia pewayangan, meyakini bahwa jika yang berkuasa di bumi adalah Bethara Yudho (Yudhoyono?) dan Bethara Kala (J Kalla?), maka yang akan terjadi adalah bencana", jelas Dardiri Husni MA.

Pemikiran dan pemahaman (baca: teologi) semacam ini tidak hanya salah dari sudut logika karena mengukur dengan mitos yang berkembang di belakang hari tanpa preseden, tetapi sekaligus juga menyesatkan karena berbasis tahayul dan apriori. Ini bukan lagi teologi bencana, tetapi lebih tepat dikatan bencana teologi.

Kedua, teologi nihilistis. Deretan bencana yang selalu membawa nestapa kematian yang begitu kerap terjadi di tengah himpitan kesulitan hidup dan merajalelanya ketidak-adilan politik, sosial dan ekonomi menjadikan masyarakat terbiasa acuh dan kehilangan kepekaan alam dan sosialnya. Bencana telah menjadi rutinitas yang sebetulnya memuakkan, tetapoi terlanjur dianggap suatu kewajaran, bahkan mungkin keniscayaan.

Penyebabnya tidak lain adalah ekspos terhadap rusaknya alam dan sosial yang terlalu akrab di telinga dan mata mereka atas kemajuan di bidang telekomunikasi dan informasi, menyebabkan bencana yang terjadi dianggap sebagai suatu hal yang biasa, lumrha, wajar dan "apa adanya".

Di lain pihak, dalam dunia riil mereka dengan jelas menyaksikan para politisi, pemimpin, hakim dan penegak hukum seringkali tidak peduli, bahkan dengan seenaknya memperlakukan rakyat kecil sebagai bulan-bulanan politik dan ketidak adilan tanpa ada yang mampu melindungi mereka. Inilah penyebabnya.

Bencana sosial, ekonomi dan politik yang mendera tanpa habis dirasakan oleh mereka di daerah, telah membuat mereka tidak lagi sempat memperhatikan orang lain yang sedang tertimpa musibah di tempat lain. Akhirnya sikap acuh tak acuh dan "masa bodoh" mengkristal karena membentuk pikiran mereka sehingga masyarakat cenderung untuk berpikir apatis. Ah, persetan dengan musibah dan bencana....

Ketiga, teologi religio-fenomenologis. Konsep ini, biasanya merujuk kepada Alquran, yaitu doktrin bahwa "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mareka sebahagian dari (akibat) perbuatan mareka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Rum ayat 40).

Hal ini, muncul tidak lepas dari sifat ketamakan atau kerakusan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kemaslahatan umat, sehingga mereka tidak mau mendengar panduan Ilahi. Maka yang menjadi persoalan adalah ketika konsep "bencana", yang pada awalnya dipahami sebagai "symbol" peringatan Tuhan terhadap sikap-sikap egoisme manusia terhadap alam, secara berlahan mulai memudar dan bahkan mungkin hilang tanpa bekas.

Di sinilah persoalannya. Lambat laun, tapi pasti, gejolak ini akan memunculkan apatisme, untuk tidak mengatakan erosi teologis, dalam ruang kognitif umat di negara ini, terhadap setiap bencana yang muncul. Sehingga, orang tidak lagi merasa prihatin terhadap musibah yang menimpa saudara-saudara mereka. Dan disinilah lagi-lagi bencana teologis itu menemukan relevansinya.

Akhirnya, jika kondisi ini menjadi mindset dalam setiap kepala umat di negeri ini, maka tidak ada harapan lagi bagi umat di negeri ini untuk bangkit. Itulah bencana teologis terparah yang tiap detik bakal mengintai hati dan rikiran rakyat di negeri "cengengesan ini".

(Posted by bearNyee.05)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar