Minggu, 25 Oktober 2009

HARIMAU JAWA

Harimau Jawa

Harimau Jawa adalah jenis harimau yang hidup di pulau jawa. Harimau ini dinyatakan punah di sekitar tahun a980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat binatang ini secara drastis. Walaupun begitu, ada juga kemungkinan kepunahan ini terjadi di sekitar tahu 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekior jenis harimau ini. Terakhir kali ada sinyalemen dari harimau jawa ialah di tahun 1972. Di tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di pulua Jawa. Walaupun begitu, ada kemungkinan kecil binatang ini belum punah. Di tahun 1990-an ada beberapa laporan tentang keberaadaan hewan ini, walaupun hal ini tidak bisa diverfikasi.

Di akhir abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di pulau Jawa. Di tahun 1940-an, harimau jawa hanya ditemukan di hutan-hutan terpencil. Ada usaha-usaha untuk menyelamatkan harimau ini dengan membuka beberapa taman nasional. Namun, ukuran taman ini terlalu kecil dan mangsa harimau terlalu sedikit. Di tahun 1950-an, ketika populasi harimau Jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Di tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional meru Betiri. Walaupun taman nasional ini dilindungi, banyak yang membuka lahan pertanian disitu dan membuat harimau jawa semakin terancam dan kemudian diperkirakan punah di tahun 80-an.

Harimau jawa berukuran kecil dibandingkan jenis-jenis harimau lain. Harimau jantan mempunyai berat 100-141 kg dan tingginya kira-kira 2.43 meter. Betina berbobot legih ringan, yaitu 75-115 kg dan sedikit lebih pendek dari jenis jantan.

Di samping harimau jawa, ada dua jenis harimau yang punah di abad ke-20, yaitu Harimau bali dan Harimau Persia. Secara Biologis, harimau jawa mempunyai hubungan sangat dekat dengan harimau bali. Beberapa ahli biologi bahkan menyatakan bahwa mereka adalah satu spesies. Namun, banyak juga yang membantah pernyataan ini.

Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Carnivora
Famili: Felidae Genus: Panthera Spesies: P. tigris Subspesies: Panthera tigris sondaica

Analisis Morfometri Harimau jawa berdasarkan Foto tahun 1957 :
1. Panjang tubuh dari kepala sampai dengan pangkal ekor sekitar: 160 – 180 cm.
2. Tinggi bahu jika berdiri sekitar 85 – 100 cm.
3. Lebar tubuh sekitar 45 – 50 cm.
4. Panjang ekor sekitar 85 – 90 cm.
5. Diameter jejak kaki depan sekitar (20 x 20) cm – (23 x 23)cm.
6. Jarak antar dua kuku kaki depan yang berdekatan sekitar 4 – 6 cm.
7. Strip hitam ditubuh tipis dan banyak, ada yang bercabang dan hampir rapat.
8. Moncong hidungnya menyempit dan cenderung memanjang.
9. Coretan loreng di pipi tipis dan renggang.
10. Garis putih dibawah mata sangat lebar.
11. Dahinya agak menonjol, terutama di atas mata.
12. Sidik jidat renggang dan jarang.
13. Pola sidik jidat agak mundur kebelakang dari pertemuan hidung dan kepala diantara dua mata.
14. Surai panjang dan lebat di samping depan bagian bawah daun telinga.
15. Panjang rambut kumis berkisar dari 5 cm – 25 cm.

Ada sejumlah bukti yang menyatakan bahwa harimau Jawa masih eksis. Sekelompok orang yang begitu yakin keberadaan hewan yang dinyatakan punah itu melakukan riset. Apa tujuannya?
Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) sejak 1996 sudah dinyatakan punah dalam rapat Convention on International Trade in Endangered Species di Florida, Amerika Serikat (AS). Tapi ada sebagian orang yang percaya bahwa spesies itu masih eksis sampai hari ini. Peduli Karnivor Jawa (PJK), begitu mereka menamakan dirinya, sejak 1996 melakukan riset di beberapa lokasi di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
“Terakhir kami menemukan jejak rambut harimau Jawa di kedua tempat tadi. Akan kami lakukan tes DNA untuk memastikannya,” ujar Didik Rahayono, Koordinator PJK kepada SH di Jakarta baru-baru ini. Menurut lelaki yang sehari-hari bekerja pada Divisi Inovasi Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa Liar Yogyakarta ini, studi keberadaan harimau Jawa lebih difokuskan pada arti spesies tersebut sebagai predator yang menjadi kunci ekosistem hutan di Jawa. “Harimau adalah hewan predator. Jika kondisi predator dalam suatu ekosistem masih bagus, berarti keseluruhan satwa lain juga bagus,” tutur Didik.
Dari studi di sejumlah titik seperti Meru Betiri, Raung, Alas Purwo, Wilis, Wijen, Gunung Slamet dan tempat lain, diperkirakan masih ada antara 15-20 harimau Jawa yang masih hidup.
Jumlah itu bisa saja menyusut kalau habitat mereka berkurang. Tapi kalau ada langkah perbaikan terhadap ekosistem hutan di Jawa, bukan tidak mungkin spesies tersebut bisa bertambah jumlahnya. Didik berpendapat, keyakinan bahwa harimau Jawa sudah punah sudah demikian mengakar, sehingga tidak ada akademisi yang berani melakukan penelitian lebih lanjut.
Sejak 1996, Didik bersama rekannya di PJK telah berhasil menemukan jejak kaki, feses, garutan di pohon dan rambut yang kesemuanya itu mengindikasikan masih adanya satwa endemik Jawa tersebut. Perlu dipahami, bahwa kehadiran spesies di suatu habitat dapat dideteksi berdasarkan bekas aktivitas yang ditinggalkannya, demikian halnya dengan harimau jawa.
Sebagai karnivor, harimau Jawa telah beradaptasi dengan sempurna guna menyembunyikan sosok tubuhnya agar tidak diketahui hewan mangsa. Sehingga tidaklah mudah melihat secara manual sosok harimau Jawa di hutan tropis Jawa, jika kita hanya setahun atau dua tahun mengunjungi habitatnya. Kecuali orang yang kesehariannya benar-benar berinteraksi dengan habitat harimau Jawa.
“Bekas aktivitas harimau Sumatera dan macan tutul di berbagai kebun binatang di Jawa kami jadikan sebagai referensi pembanding. Ukuran besarnya bekas aktivitas yang kami temukan jika melebihi ukuran maksimum macan tutul dan sama atau bahkan lebih besar dari ukuran harimau Sumatera, maka kami klaim sebagai milik harimau Jawa.
Hasil survei kami dari berbagai habitat di Jawa menemukan jejak kaki (28×26 cm), feses berdiameter 7 cm, garutan di pohon (luka tertinggi 252 cm), bahkan rambut harimau Jawa,” papar Didik di website www.javantiger.or.id yang sengaja dibuat sebagai kampanye keberadaan harimau Jawa.

Studi
Guna pembanding, Didik dan kawan-kawan menggunakan rambut macan tutul opsetan milik Museum Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Medula rambut harimau Jawa bertipe Intermediate berpola Regularem berbeda strukturnya jika dibandingkan medula rambut macan tutul yang bertipe Discontinue berpola Irregulare. Identifikasi menggunakan Scanning Electron Microscop (SEM) terhadap rambut yang berasal dari garutan baru di pohon.
Dari studi-studi itu, berhasil diketahui bahwa harimau Jawa tidak hanya di TN Meru Betiri, karena mereka juga menemukan rambut harimau Jawa di Jawa Tengah yang berjarak lebih dari 600 kilometer dari habitat terakhirnya. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa habitat terakhir harimau Jawa adalah Pulau Jawa, bukan hanya TN Meru Betiri.
Foto harimau Jawa hidup di alam yang beredar secara internasional adalah hasil karya Hoogerwerf tahun 1938 dari Taman Nasional Ujung Kulon. Berbagai sumber publikasi ilmiah menyatakan bahwa harimau Jawa terakhir dibunuh sekitar 1941, setelah tahun tersebut hampir tidak ada laporan tentang pembunuhan satwa kharismatik dan endemik Pulau Jawa ini.
Tetapi hasil investigasi dan penelusuran informasi yang dilakukan oleh Mitra Meru Betiri (MMB) pada tahun 1998 mendapatkan sebuah data tentang foto sosok harimau Jawa terbaru (foto dari tahun 1957). Walaupun satwa tersebut sudah mati ditembak, namun kandungan informasi ilmu pengetahuannya sangat penting karena menjadi bukti ilmiah terbaru -19 tahun lebih muda daripada foto tahun 1938 hasil karya Hoogerwerf.
Foto tahun 1957 itu merupakan satu-satunya bukti ilmiah terkuat tentang besarnya ukuran tubuh yang dapat dicapai harimau Jawa jantan dewasa, karena memberikan informasi terbaru tentang pola loreng dan karakter sidik jidat harimau Jawa secara jelas. Foto tahun 1957 itu merupakan koleksi seorang mantan sinder dari sebuah perkebunan di eks. Karesidenan Besuki Jawa Timur.
Betulkah harimau Jawa masih eksis sampai hari ini? Agaknya tidak penting benar jawabannya. Dari tuturan Didik, yang lebih penting adalah bagaimana menjaga ekosistem hutan di Jawa sekarang ini agar spesies lain tidak senasib dengan harimau Jawa yang diberitakan punah. (merry Magdalena, Sinar Harapan 2003)

Posted By Birnyi

Rabu, 14 Oktober 2009

MAPALA UMJ NEWS !!! Perekrutan anggota Baru MAPALA UMJ Tahun Angkatan 2009/XIX

Bagi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah yang ingin mencalonkan diri sebagai Anggota MAPALA UMJ, segera daftarkan diri kalian! di sini kalian bisa mendalami pengetahuan di bidang :
- Gunung Hutan
- Arung jeram
- Susur Goa
- Fotografi & Jurnalistik
- Panjat Tebing
- Konservasi, dll.....
Tentunya dengan persyaratan :
1. Membayar konstribusi Rp.75.000,0
dengan fasilitas : kaos lapang, konsumsi, buku panduan, transportasi, Dispensasi selama
kegiatan.
2. Mengisi Formulir Pendaftaran
3. Mengikuti susunan acara, antara lain :
- DIKLAT RUANG : 26 s/d 28 Oktober 2009
Pukul : 14.00 wib - selesai
Tempat : Sekretariat Universitas Muhammadiyah Jember
- DIKLAT LAPANG : 16 s/d 22 November 2009
Tempat : Taman Nasional Meru Betiri (Pantai Bandealit - Teluk Meru)
- KARANTINA PESERTA : 15 Novermber 2009
Tempat : Sekretariat Mapala Umj.
WAJIB !!! Semua Peserta di Fasilitasi 2 kamar (hotel) untuk ceklist
perlengkapan
DIKLATSAR (diklat lapang)

Untuk Info lebih lanjut :
Hub. CP : 081336331489 (Doni Riski)
085236009970 (Dwi)

NEW MAPALA UMJ

Mari Bergabung bersama, untuk wujudkan pribadi yang mandiri dan selaras dengan Alam........!

BENCANA ATAU BENCANA ?

Jangan lagi kau sebut negeri ini sebagai sebuah negeri "Untaian zamrud khatulistiwa", negeri "tongkat kayu dan batu jadi tanaman" (Koes Plus). Jangan pernah. Karena semua itu telah berlalu. Jangan lagi Rata Penuhkau katakan penduduk negeri ini ramah-ramah, suka bergotong-royong dan saling tolong-menolong. Itu dahulu, sobat!Kini, rakyat negeri "tanah subur rakyat nganggur" ini telah berubah menjadi individualis dan pragmatis.

***

Ungkapan di atas sepertinya terlalu sarkastik untuk mendeskrepsikan realita objektif yang menerpa bangsa ini. Terlalu di-dramatisir barangkali. Tapi toh, segalanya hampir dilakukan bangsa ini dalam "drama" yang melankoli. Tengoklah geliat kesadaran bangsa yang nyaris terlambat, bahwa kita baru tersadar dari "sakit nasional" ketika harus mengeluarkan segoceh rezeki menunggu Aceh dilanda tsunami. Kita baru berbondong-bondong menjadi manusia paling prihatin, paling peka, paling baik terhadap sesama tatkala dihadapkan pada bencana Gempa di Tasikmalaya dan rentetan bencana-bencana lainnya.


Dan itulah kondisi negeri kita yang sesungguhnya. Negeri dengan kompleksitas problema yang absurd dan terkesan paradoks. Tapi toh, sebagian rakyat kita terlanjur surfive dan merasa enjoy dengan segala yang terjadi. Terlanjur positive thinking barangkali. "Ini kan cobaan, jadi jangan dianggap penderitaan dong...", begitu mungkin argumentasi mereka. "Musibah itu kan wajar, namanya juga kehidupan..." tambah mereka. Dan semuanya akan berjalan dengan rutinitas yang paling wajar.

Inilah bangsa kita yang sebenarnya. Bangsa yang hanya tercipta dalam angan-angan. Imagined Community, Kata Benedic Anderson. Karena hanya angan-angan, maka yang mampu dilakukan hanyalah berimajinasi. Bagaimana seandainya bangsa ini mampu keluar dari jurang keterpurukan? Bagaimana seandainya negeri ini menjadi subur, rakyatnya makmur, kehidupannya teratur? Bagimana seandainya rakyat sadar bahwa bencana yang silih berganti ini adalah cobaan atau barangkali teguran? Dan masih banyak 'bagaimana-bagaimana' yang lain....

Memperbincangkan Teologi Bencana
Dari sudut manapun, barisan bencana yang melanda bangsa ini menjadi suatu yang sungguh fenomenal. Rentetan peristiwa "bersejarah" yang mengiris-iris nurani dan memilukan hati terjadi silih berganti dalam hitungan hari.

Dimulai dari Tsunami di Aceh yang "menggemparkan" dunia,kemudian hadir kembali di tepian pantai selatan Jawa beberapa tahun lalu, gempa tekto-fulkanik di Irian, Maluku, Jogjakarta dan terakhir di Sumatera Barat. Bencana longsor yang hampir merata dari Irian Barat, Jawa Barat hingga Sumatra Barat, sampai pada bencana yang berpangkal dari ulah manusia seperti semburan Lumpur Lapindo dan kecelakaan transportasi darat, laut dan udara tak pernah berhenti terjadi bagai tak bosan mendera rakyat dan bangsa ini. Dan bahkan belum seminggu lalu, yakni peristiwa Gempa yang meluluhtantakkan Tasikmalaya dan sebagian daerah di Jawa Barat.

Sebegitu runtun-sistematis dan kerapnya jarak antara satu bencana dengan bencana lainnya, sehingga sepertinya sudah --meminjam istilah sosial--"mentradisi" di tanah air tercinta ini. Menjadi santapan rutin para pemirsa telivisi dan hedaline news paling menarik bagi wartawan yang sebenarnya hampir memuakkan.

Karena bangsa kita terlanjur dikenal sebagai masyarakat relegius, maka pertanyaan yang mencuat adalah, sejauh mana fenomena mega bencana negeri ini berpengaruh terhadap perubahan sikap dan resistensi pemikiran masyarakat kita? Bagaimana wacana teologis masyarakat dalam memandang dan menyikapi bencana dahsyat yang menimpa sekeliling mereka?

Pertanyaan di atas teramat krusial untuk diajukan, mengingat implikasi bencana-bencana yang terjadi tidak saja berdampak pada persoalan ekonomi, sosial, psikologi dan politik, tetapi juga masalah teologi dan alam pikir masyarakat yang terkena dan yang menyaksikan bencana.

Dardiri Husni MA, Kepala Institute for Southeast Asia Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau, menjelaskan, setidaknya ada tiga arus pemikiran atau mainstream yang mengitari masyarakat kita ketika menyaksikan bencana yang terus-menerus silih berganti antara bencana alam dan bencana yang timbul dari ulah manusia dalam beberapa tahun belakangan ini yakni; teologi mistis, nihilistic dan religio-fenomenologis.

Pertama, teologi mistis-klenis. Rentetan bencana yang secara kebetulan terjadi dan mendera bangsa ini makin sering di masa kepemimpinan SBY-Kalla. Hal ini, mengundang spekulasi pemikiran berbau klenik bahwa duet pemimpin ini tidak diterima atau lemah secara spiritual untuk memimpin negeri ini. Terbukti di awal tahun kepemimpinan Sby-JK, tiba-tiba Badai Tsunami menghantam Aceh. Begitu mungkin pendukung golongan ini berargumentasi.

Bencana yang menyatakan kehendak alam malah ditafsirkan sebagai keengganan kalau bukan penolakan atas representasi mereka. Ini kan sama dengan mencari "kambing hitam" untuk dijadikan pelabuhan kekesalan atau bahkan kefrustasian. "Bahkan ada yang dengan kotak-katik asal jadi ala klenik, mengambil persamaan kata dengan tokoh dan alam pikir dunia pewayangan, meyakini bahwa jika yang berkuasa di bumi adalah Bethara Yudho (Yudhoyono?) dan Bethara Kala (J Kalla?), maka yang akan terjadi adalah bencana", jelas Dardiri Husni MA.

Pemikiran dan pemahaman (baca: teologi) semacam ini tidak hanya salah dari sudut logika karena mengukur dengan mitos yang berkembang di belakang hari tanpa preseden, tetapi sekaligus juga menyesatkan karena berbasis tahayul dan apriori. Ini bukan lagi teologi bencana, tetapi lebih tepat dikatan bencana teologi.

Kedua, teologi nihilistis. Deretan bencana yang selalu membawa nestapa kematian yang begitu kerap terjadi di tengah himpitan kesulitan hidup dan merajalelanya ketidak-adilan politik, sosial dan ekonomi menjadikan masyarakat terbiasa acuh dan kehilangan kepekaan alam dan sosialnya. Bencana telah menjadi rutinitas yang sebetulnya memuakkan, tetapoi terlanjur dianggap suatu kewajaran, bahkan mungkin keniscayaan.

Penyebabnya tidak lain adalah ekspos terhadap rusaknya alam dan sosial yang terlalu akrab di telinga dan mata mereka atas kemajuan di bidang telekomunikasi dan informasi, menyebabkan bencana yang terjadi dianggap sebagai suatu hal yang biasa, lumrha, wajar dan "apa adanya".

Di lain pihak, dalam dunia riil mereka dengan jelas menyaksikan para politisi, pemimpin, hakim dan penegak hukum seringkali tidak peduli, bahkan dengan seenaknya memperlakukan rakyat kecil sebagai bulan-bulanan politik dan ketidak adilan tanpa ada yang mampu melindungi mereka. Inilah penyebabnya.

Bencana sosial, ekonomi dan politik yang mendera tanpa habis dirasakan oleh mereka di daerah, telah membuat mereka tidak lagi sempat memperhatikan orang lain yang sedang tertimpa musibah di tempat lain. Akhirnya sikap acuh tak acuh dan "masa bodoh" mengkristal karena membentuk pikiran mereka sehingga masyarakat cenderung untuk berpikir apatis. Ah, persetan dengan musibah dan bencana....

Ketiga, teologi religio-fenomenologis. Konsep ini, biasanya merujuk kepada Alquran, yaitu doktrin bahwa "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mareka sebahagian dari (akibat) perbuatan mareka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Rum ayat 40).

Hal ini, muncul tidak lepas dari sifat ketamakan atau kerakusan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kemaslahatan umat, sehingga mereka tidak mau mendengar panduan Ilahi. Maka yang menjadi persoalan adalah ketika konsep "bencana", yang pada awalnya dipahami sebagai "symbol" peringatan Tuhan terhadap sikap-sikap egoisme manusia terhadap alam, secara berlahan mulai memudar dan bahkan mungkin hilang tanpa bekas.

Di sinilah persoalannya. Lambat laun, tapi pasti, gejolak ini akan memunculkan apatisme, untuk tidak mengatakan erosi teologis, dalam ruang kognitif umat di negara ini, terhadap setiap bencana yang muncul. Sehingga, orang tidak lagi merasa prihatin terhadap musibah yang menimpa saudara-saudara mereka. Dan disinilah lagi-lagi bencana teologis itu menemukan relevansinya.

Akhirnya, jika kondisi ini menjadi mindset dalam setiap kepala umat di negeri ini, maka tidak ada harapan lagi bagi umat di negeri ini untuk bangkit. Itulah bencana teologis terparah yang tiap detik bakal mengintai hati dan rikiran rakyat di negeri "cengengesan ini".

(Posted by bearNyee.05)

KEKUATAN GEMPA

Kekuatan gempa tidak selalu sama. Perbedaan ukuran gempa bisa menyebabkan efek yang berbeda pula. Gempa bisa diukur dengan alat yang dinamakan seismograf. Sementara satuan ukuran besar gempa pada umumnya memakai skala richter

Skala richter atau SR, diusulkan oleh seorang fisikawan Amerika Serikat, Charles Richter. Dengan menggunakan seismograf, gempa diukur dengan melihat tinggi gelombang yang tercatat di kertas seismogram oleh pena seismograf. Dari coretan yang dihasilkan oleh seismograf, para peneliti bisa mengetahui besar skala dan jarak pusat gempa.

(Posted by bearnyee.05)